Di Paksa Menikah

Chapter 188. BAB 185

Beberapa minggu kemudian

Kini kandungan Intan sudah memasuki usia 32 minggu. Ricko semakin bahagia dibuatnya. Ia selalu membelai perut Intan yang semakin membesar. Seperti pagi ini, Intan mengantar Ricko sampai di teras rumah sebelum Ricko berangkat bekerja. Intan mencium punggung tangan Ricko. Setelah itu Ricko mencium kening, pipi, dan bibir Intan. Ia juga membelai perut Intan dan Intan tersenyum seraya membelai rambut Ricko.

“Jangan nakal-nakal di dalam perut Mommy, ya?” ucap Ricko di dekat perut Intan.

“Iya Papa. Kita enggak nakal kok,” balas Intan seraya tersenyum.

“Jangan berpikir yang tidak-tidak. mimpi hanyalah bunga tidur,” ujar Ricko seraya mengacak puncak kepala Intan.

“Iya, Mas,” balas Intan dengan tersenyum.

Tadi malam Intan bermimpi Rita datang ke rumahnya dan berpamitan akan pergi jauh. Intan bertanya ia akan pergi kemana, tapi Rita hanya tersenyum padanya. Rita juga berpesan untuk menjaga kandungannya dengan baik dan menjadi ibu yang baik bagi si kembar.

Setelah itu Ricko masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesinnya. Intan melambaikan tangannya saat Ricko melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang. Setelah mobil Ricko sudah tidak terlihat lagi, ia masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya.

Di ruang tengah, Intan duduk di sofa sambil membuka galeri foto semasa SMAnya. Ia melihat foto saat masih bersama dengan sahabat-sahabatnya dulu. Ia merasa sangat rindu masa-masa itu. Ia ingin berkumpul lagi karena sudah lama mereka tidak bertemu.

***

Siang hari sekitar pukul 10.00 WIB, banyak orang berpakaian hitam sedang berkumpul dan sebagian dari mereka menangis. Di sana juga ada Melly dan Vina yang tengah menangis memandangi mayat yang terbujur kaku di hadapannya.

“Rita .. kenapa kamu pergi secepat ini .. “ ucap Vina dengan berderai air mata membasahi pipinya. Ia masih belum percaya sahabatnya kini telah pergi meninggalkannya.

“Tenangkan dirimu Vin,” tutur Melly seraya memeluk Vina dengan air mata yang tidak berhenti keluar dari pelupuk matanya. Ia sendiri juga masih belum percaya sahabatnya kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Masih terbayang kenangan saat mereka selalu bersama semasa SMA. Makan di kantin bersama, jalan-jalan bersama, dan bercanda bersama. Mereka masih ingat tawa renyah Rita ketika berkumpul bersama.

“Aku harus kasih tahu Intan,” ujar Melly seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ia mengusap air mata serta ingusnya dengan tisu. Matanya sudah sangat merah karena menangis sedari tadi.

“Jangan .. “ cegah Vina dengan menangis menatap Melly.

“Dia berhak tahu Vin .. ” balas Melly lirih dan lagi-lagi bulir bening lolos dari sudut matanya.

“Aku tahu, tapi dia sedang hamil. Aku tidak mau membuatnya bersedih,” jelas Vina seraya menutupi bibirnya yang bergetar tidak kuat menahan tangisnya. Melly pun memeluk Vina sekali lagi.

Tidak lama kemudian ponsel Vina berdering dan tampaklah nama Intan di layar ponselnya. Intan berencana menyuruh mereka datang ke rumahnya karena ia tidak bisa keluar dengan bebas lantaran perut buncitnya yang semakin berat. Ia sudah sangat rindu dan ingin berkumpul dengan mereka bertiga.

“Apa yang harus aku katakan padanya?” tanya Vina sebelum menerima panggilan telepon dari Intan. Ia mengusap air mata dan ingusnya dengan tisu. Ia berusaha menetralkan suaranya agar Intan tidak curiga. Ia menatap Melly dengan ragu-ragu sebelum menjawab telepon dari Intan. Melly memejamkan matanya sejenak dan mengangguk tanda setuju. Setetes air mata lolos dari pelupuk matanya.